Senja Kala Industri Maritim Batam

Berbagai persoalan mendera industri kemaritiman Batam. Dipengaruhi oleh membingungkannya aturan dan ketidakpahaman pemangku kepentingan di daerah. Perusahaan-perusahaan kehilangan daya saing dan hampir tidak mampu lagi bertahan setelah sekian lama menunggu kebijakan yang pro rakyat dan pro bisnis. Berimbas pada munculnya ratusan ribu penganggur. Kini, industri andalan yang meliputi bidang perkapalan, pelayaran, dan jasa kepelabuhanan itu sedang menanti senja kalanya.
Kondisi ini sudah berlangsung sejak tahun 2016. Membuat pertumbuhan ekonomi daerah menurun. Galangan kapal lengang berkalang sepi menuju kebangkrutan, dari 115 perusahaan hanya 30 persen yang beroperasi. Sekitar 300.000 tenaga kerja industri kemaritiman menganggur. Batam tidak lagi menjadi daerah tujuan bagi kapal domestik maupun asing. Pungutan tarif kepelabuhanan ditarik secara sembarangan dan tidak sesuai aturan perundang-undangan. Begitulah yang disampaikan oleh Erdi Steven Manurung, Koordinator Aliansi Gerakan Kebangkitan Industri Maritim Batam.
Aliansi yang terbentuk pada 27 Maret 2021 ini, mewakili ratusan perusahaan dan ratusan ribu pekerja dari delapan organisasi diantaranya: BSOA (Asosiasi Galangan Kapal dan Lepas Pantai), INSA (Asosiasi Pemilik Kapal Nasional Indonesia), ISAA (Asosiasi Agen Pelayaran Indonesia), Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat, Serikat Pekerja Perkapalan dan Jasa Maritim, Asosiasi Logitik dan Forwarding, Pelayaran Rakyat, dan Asosiasi Tenaga Ahli Kepabenan. “Tujuannya, membangkitkan kembali industri kemaritiman,” kata Erdi didamping anggota aliansi lainnya, 12 Juni 2021.
Lekas setelah terbentuk, aliansi langsung merumuskan semua masalah kemudian menyurati Presiden Joko Widodo, pada 5 April 2021 lalu. Dalam surat itu mereka menyampaikan permohonan serta hal-hal genting yang harus segera dibenahi. Intinya kata Erdi, mereka berharap Presiden segera mengambil tindakan dan mengintervensi kebijakan buatan pemerintah daerah yang tidak sejalan dengan pusat, meminta penyelengaraan kepelabuhanan Batam dikembalikan kepada Kementerian Perhubungan, dan mencopot pejabat di pelabuhan yang tidak memiliki kompetensi dan kapabilitas.
Dua pekan setelah surat itu dikirim, rupanya Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam, Muhammad Rudi, langsung merespon aspirasi mereka. Dua pertemuan pada 28 April dan 4 Mei 2021 pun telah diadakan. Dalam rapat itu katanya, mula-mula Rudi berjanji akan mencari solusi atas keluhan mereka dalam waktu satu minggu, kemudian sudah membentuk tim khusus di bidang hukum untuk mengatasi persoalan ini. Progresnya akan diinformasikan satu minggu setelah perundingan itu berlangsung, “Waktu itu beliau [Rudi] bilang langsung dihubungi Presiden,” kata Erdi.
Sayangnya, sudah satu bulan lebih perundingan itu berlalu. Sampai sekarang tidak terlihat ada inisiatif pemerintah untuk memecahkan sengkarut ini. Padahal pertaruhannya adalah industri yang besar sumbangannya kepada kas negara. Lambannya kinerja BP Batam berimbas pada senja kala dunia kemaritiman semakin tak terelakkan.
“Beberapa hari lalu kami sudah datang ke BP Batam untuk menanyakan tindak lanjutnya. Tetapi tidak ada tanggapan. Intinya dalam surat itu kami beri waktu sampai tiga bulan, harapan kami ada mendapat tanggapan yang semestinya dari pemerintah, kalau tidak kami akan menggerakkan massa secara besar-besaran untuk menghentikan kegiatan [mogok kerja],” kata pria yang juga menjabat sebagai Ketua DPC ISAA Batam itu.
Barangkali kalau itu terjadi, ini adalah aksi mogok kerja pertama di Batam yang didalangi oleh para pengusaha. Aksi akbar yang direncanakan berlangsung pada awal Juli 2021 itu, menuntut perubahan. Selama tiga hari penuh, tidak akan ada pekerja industri maritim yang bekerja, tidak ada pelayanan terhadap kapal-kapal, dan jika itu “direstui” pemerintah dengan cara tidak mengambil tindakan secepatnya, diperkirakan negara akan merugi miliaran rupiah per harinya. “Sesuai rencana awal tiga hari, kalau belum ada tindakan bisa berhari-hari,” katanya.
Erdi mengatakan, alasan kenapa pemerintah pusat harus segera mengambil tindakan, karena banyak peraturan daerah yang dibuat oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam bersandar tanpa pegangan hukum yang jelas dan menjadi biang masalah pada industri kemaritiman di Batam. Biaya kepelabuhan kini menjadi mahal. Ada berbagai ongkos yang seharusnya tidak dipungut pemerintah dari pengusaha kapal.
Aliansi ini meminta pemerintah mencabut dua Peraturan Kepala (Perka) BP Batam, yaitu Perka Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Sistem Host-To-Host Pembayaran Kegiatan Jasa Kepelabuhanan di Lingkungan Pelabuhan Batam, Perka Nomor 11 Tahun 2018 tentang Petunjuk Pelaksana Jenis dan Tarif Kepelabuhanan, serta merevisi PP No. 41 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
“Sudahlah peraturan lemah, komunikasi dan koordinasi juga tak jalan. Kebijakan itu juga mengancam investasi dan banyak dimanfaatkan oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk mempersulit pelaku industri kemaritiman,” kata Erdi.
Misalnya kata dia, permasalahan itu terjadi pada pungutan-pungutan tarif jasa tambat pada kapal di terminal-terminal khusus (galangan) atau pribadi yang bertentangan dengan setumpuk peraturan pusat dan sangat memberatkan pengusaha. Sesuai aturannya tarif jasa kepelabuhan baru dipungut bila ada kegiatan dan pelayanan. Tetapi menurut Erdi yang terjadi malah sebaliknya. Mulai dari kapal yang sedang floating repair sampai yang baru dibangun pun sudah dikenakan jasa tambat. Belum lagi cerita soal perusahaan yang diminta untuk menunjukan legal document untuk setiap kapal tambat serta akta dengan kepemilikan saham 51 persen. “Dasar hukumnya apa?” kata Erdi Manurung.
Lebih membingungkan lagi katanya, BP Laut Batam membuat pernyataan kalau kapal dilarang berlama-lama melakukan docking repair dan maintenance di galangan. Padahal kapal yang masuk berbeda-beda jenis, pekerjaan, perbaikan, serta perawatannya. Harus diperhatikan ketersediaan bahan baku, tenaga kerja, dan bahkan cuaca. “Contoh dalam musim hujan tentu pengerjaan pengecatan kapal butuh waktu lebih lama. Kalau begini terus tidak ada lagi kapal yang mau masuk ke Batam, karena terbentur aturan, biaya mahal, dan banyak instansi yang ikut campur urusan bisnis,” kata dia.
Satu hal yang paling menyita perhatian yaitu, soal jasa pemanduan dan penundaan. Erdi menerangkan, BP Batam memberlakukan pungutan dua kali bolak-balik untuk kapal dari area luar wajib pandu ke area keberangkatan atau labuh. Padahal pungutan seharusnya diberlakukan satu kali saja pada kapal dari luar yang belum masuk ke dalam perairan wajib pandu.
Kemudian pengguna jasa juga diwajibkan meng-hold dana (pembekuan oleh bank) dan tetap membayar penyediaan kapal tunda dan pandu yang tidak disediakan oleh BP Batam. Selain itu, pengguna jasa juga harus mencarter dan membayar kapal tunda sendiri. Artinya, BP Batam tetap memungut tarif tunda dan pandu meskipun tidak ada jasa pelayanannya. Hal itu katanya sangat bertentangan dengan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 15 Tahun 2014.
“Mereka juga mewajibkan kapal menggunakan kapal tunda terhadap kapal yang tidak membutuhkan kapal tunda. Intinya mau terima duit, tapi fasilitas tidak memadai. Soal dana yang ditahan memang nanti akhirnya akan dikembalikan, tetapi itu kan memakan waktu berbulan-bulan,” kata dia.
Pembekuan dana itu kata Erdi, dipungut BP Batam sebelum kapal datang. Dalam ketentuannya seharusnya dana itu dipungut sebelum kapal berangkat sesuai dengan tata cara pungutan dan penyetoran PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang mengatur tentang waktu pemungutan dan penyetoran yang menerapkan 2 prinsip: prinsip prabayar dan pascabayar. “Jadi kami mengusulkan di-hold dana dimuka hanya untuk kapal-kapal yang berkegiatan di pelabuhan umum. Untuk kapal-kapal yang berkegiatan di luar pelabuhan umum tidak diminta untuk hold dana dan dipungut sebelum kapal berangkat,” katanya.
Persoalan lainnya yang menjadi sorotan mereka adalah soal pelayanan PUK di BP Laut Batam yang belum menggunakan sistem online, sehingga tidak efisien waktu dan tidak ada kepastian waktu kapan dokumen yang diajukan dapat selesai. “Pelayanan PUK harus terintegrasi secara online sistem seperti yang telah dilakukan oleh kantor-kantor CIQP di Batam,” katanya. Kemudian kurangnya petugas dari BP Laut Batam yang mengerti atau standby dalam pelayanan InaPortnet yang menyebabkan target tiga jam pelayanan menjadi molor berhari-hari, hingga kurang profesionalnya petugas menurut mereka juga harus dibenahi.
Erdi menekankan, pembenahan dalam industri kemaritiman Batam tidak bisa ditunda lagi. Sebab harus dipertimbangkan kalau sektor ini merupakan andalan perekonomian sehingga eksistensinya perlu dijaga agar dapat menyediakan lapangan pekerjaan secara berkelanjutan, memberikan kesejahteraan pada masyarakat, dan meningkatkan perekonomian di Batam. “Investasi yang telah ada harus diselamatkan dari kebangkrutan.”
Pada masa jayanya di periode 2012 sampai 2015 lalu, untuk industri galangan kapal di Batam saja mampu menyerap lebih dari 380.000 orang pekerja atau sama dengan sepertiga penduduk Batam. Artinya, peraturan yang lemah dan menyulitkan memang harus diperbaiki. Seharusnya tidak perlu menunggu, karena kepentingan negara dan publik tidak boleh dikorbankan. “Semoga ada langkah cepat pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini sebelum aksi mogok itu terjadi. Karena setiap hari itu kita mendapat keluhan dari para pekerja yang kehilangan lapangan pekerjaan, dan pelaku industri kemaritiman yang merugi karena terbentur aturan sana-sini,” kata Erdi Steven Manurung.